Mengawali hari ini, saya mencoba membuka situs langganan saya dakwatuna untuk sekedar mendapatkan informasi dan penyemangat buat menjalani hari. Tergelitik hati ini tatkala membaca rubrik Surat pembaca mengomentari pemberitaan sebuah media elektronik terkait ROHIS, dan saya rasa cukup baik untuk saya tampilkan di blog ini juga. Maju terus ROHIS Indonesia ...!!!
dakwatuna.com - Saat tuduhan teroris dari Metro TV
mengiris hati para alumni Rohis, pada saat yang sama juga membentangkan
kembali segala kenangan indah, suka dan duka saat masih beraktivitas di
Rohis. Tuduhan yang menyalakan amarah dan menebarkan gundah itu memang
amat menyakitkan. Apalagi saat disebutkan di Rohis kita dijejali
kebencian dan kekerasan. Padahal apa yang sebenarnya terjadi justru
sebaliknya.
Pola pembinaan di Rohis dengan seabrek kegiatannya banyak
merubah sosok-sosok bengis menjadi manis, yang jahat menjadi taat. Saya
termasuk yang sempat menikmati indahnya pembinaan dan seabrek kegiatan
di Rohis, dan rasanya layak untuk dikenang dan dibagikan kepada siapa
saja yang masih belum mengenal dunia Rohis. Apa saja yang saya dapatkan
dari Rohis? Berikut sebagian point utamanya. Terlampau banyak untuk
disebutkan satu demi satu pelajaran yang ada.
Pertama : Semangat menuntut Ilmu
Pelajaran
Agama Islam di sekolah-sekolah umum hanyalah 2 jam sepekan, itu berarti
hanya sekitar 90 menit dalam 7 hari yang kita jalani. Itupun berupa
pelajaran dengan metode pengajaran satu arah, di mana kita hanya
menerima apa-apa yang disajikan dalam buku pelajaran agama Islam.
Rasa-rasanya suasana di kelas lebih ke arah persiapan menghadapi ujian
dari pada keinginan untuk menambahkan ilmu Islam dan ketaatan.
Karenanya saat di Rohis, bertemu dengan teman-teman yang sebagian dari
lulusan madrasah Tsanawiyah, menjadikan kami bersemangat untuk menambah
ilmu. Dari mulai baca-baca buku di perpustakaan kecil sudut mushalla,
yang waktu itu banyak dihiaskan majalah Intilaq, sampai juga mulai
hunting majalah Sabili dan Annida di toko buku kecil di kota kami.
Kajian melingkar yang mendatangkan pengisi dari alumni Rohis juga dengan
semangat kami ikuti, belum lagi dengan pengajian yang diselenggarakan
oleh yayasan-yayasan Islami di luar sekolah yang begitu menggairahkan
untuk diikuti. Semuanya begitu alami. Bahkan teman Rohis yang alumni
pondok pesantren, kami minta secara khusus untuk mengajarkan bahasa Arab
pada kami. Setidaknya Ana, Antum, afwan dan syukron adalah mufradat
yang populer di telinga kami saat itu.
Kedua: Semangat Beribadah
Sejalan
dengan tambah ilmu agama, makin kuat pula keinginan kami untuk
menjalankannya secara nyata. Maka saat istirahat pertama di mana
teman-teman berebutan menyerbu kantin, kami dengan semangat menyerbu
mushalla, untuk menjalankan shalat Dhuha dan tilawah beberapa ayat
al-Quran. Mushaf kecil senantiasa tersimpan di saku baju kami. Di malam
hari agenda tahajud mulai menghiasi malam-malam kami, bahkan beberapa
teman gak pede saat mulai nampak noda hitam di dahi bekas panjangnya
sujud di malam hari. Meski tak terlampau sering, shaum sunnah senin dan
kamis pun terkadang menghiasi hari-hari kami.
Ketiga: Mencintai Masjid
Masjid
sekolah adalah rumah kedua bagi aktivis Rohis. Bukan hanya untuk
ibadah, tetapi juga bercengkerama dan bersandar melepas lelah. Terkadang
setiap selesai shalat Jumat, saya dan beberapa teman Rohis, ambil
inisiatif untuk menyeret karpet ke lapangan basket, kita cuci bersama
lalu digantungkan di tiang ring basket agar lebih kering. Setelah lelah
mendera, kami kumpulkan ribuan atau lima ratusan untuk patungan membeli
nasi bungkus dan seplastik es teh. Kenikmatan yang indah tuk dikenang.
Bagi kami, pulang setelah Ashar atau jelang Maghrib tak ada bedanya.
Karena rumah kedua kami memang di mushalla. Beberapa kali pun kami
menginap di masjid meski tak ada acara formal seperti mabit. Bahkan saat
jelang ujian Ebtanas, kami sepakat untuk belajar dan menginap di
masjid.
Keempat: Mencintai Masyarakat
Beberapa
kegiatan Rohis bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya saat
Ramadhan, pembagian zakat fitrah dan pembagian daging kurban. Saat
malam-malam Ramadhan kita bukan mushalla sekolah untuk masyarakat umum,
kita pastikan mereka datang dengan nyaman tenang dan khusyuk menjalankan
shalat, ahlan wa sahlan. Begitu pula saat pembagian zakat fitrah dan
daging kurban, ratusan atau mungkin ribuan kupon pembagian yang biasa
disebut kitir kita sebarkan di masyarakat sekitar sekolah. Kita ketuk
pintu satu persatu, atau melalui ketua RT, untuk menyampaikan amanah
pembagian tersebut. Dari sini kami belajar mengenal masyarakat dengan
lebih mendalam, mengetahui kondisi apa yang terjadi di sekeliling
sekolah kami.
Pada kesempatan lain kami juga menginisiasi bantuan,
bersama teman-teman di OSIS untuk kami sampaikan di pantai Asuhan di
kota kami. Secara pribadi pernah juga hanya berduaan dengan vespa yang
bersahaja, kami membagikan nasi bungkus pada mereka yang bertebaran di
jalanan.
Di Rohis kami memahami bahwa Islam bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi disebarkan karena ia bagian dari rohmatan lil ‘aalamiin. Maka kami pun mulai mendakwahi teman-teman di sekolahan dengan ragam cara yang unik dan menarik. Kami harus belajar nasyid meski suara kami tak begitu menawan untuk didengarkan. Kami pun berusaha menjadi wartawan, lembur beberapa malam tak tidur menyiapkan majalah Adz-Dzikr untuk kami hadirkan ke teman-teman dengan harga seribuan. Majalah Rohis pertama di sekolah kami atau bahkan di kota kami, yang mendapatkan apresiasi begitu tinggi dari siswa dan guru. Beberapa tahun setelah kelulusan, kami mendengar majalah tersebut telah berkembang dan dipatenkan menjadi produk Rohis, hingga saat ini, alhamdulillah.
Teman-teman Akhwat mempunyai segmen dakwah yang lebih beragam, mengenalkan siswi tentang pentingnya menutup aurat. Pada tahun-tahun itu begitu marak proses jilbabisasi, khususnya pada siswi kelas tiga, tentu sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi hambatan sudah siap menghadang di hadapan. Menjelang kelulusan isu larangan foto ijazah berjilbab kembali menyeruak dan menyebarkan kegelisahan. Kami dari Rohis segera mengumpulkan jilbaber kelas tiga secara khusus, kita adakan briefing untuk menguatkan komitmen agar tidak lepas jilbab saat sesi pemotretan. Setelahnya kami pengurus Rohis menguatkan diri untuk menghadap kepala sekolah menyampaikan aspirasi tentang hal tersebut. Bukan sambutan positif yang kami terima, tetapi justru ketegangan demi ketegangan yang tercipta. Kami keluar ruangan kepala sekolah dengan gelisah bercampur amarah, tapi kami yakin akan ada jalan keluar di hadapan. Perjuangan belum selesai.
Keenam: Organisasi dan Komunikasi
Sebagaimana organisasi lainnya di sekolah, Rohis juga memiliki kepengurusan dan program kerja. Maka kami pun menjalankan serangkaian rapat-rapat, di mushalla – dengan berhijabkan tirai dari kain yang sudah mulai lusuh. Serangkaian kegiatan baik internal dan eksternal sukses kami luncurkan. Penyiapan shalat Jumat maupun Kajian Ahad pagi sudah menjadi santapan pekanan, rutinitas yang dirindukan. Di dalamnya kami juga belajar untuk tampil di hadapan publik, dengan kultum-kultum ringan yang pada waktu itu kami masih sangat fokus di cara menyampaikan mukadimah yang berbahasa Arab saja. Di Rohis kami juga belajar menjalin komunikasi dengan guru, kepala sekolah, juga tokoh-tokoh di luar sekolah. Berbekalkan proposal pembangunan masjid sekolah, kami berkeliling bersilaturahim mengunjungi dermawan dan jutawan di kota kami, untuk mendapatkan barang enam tujuh digit rupiah agar pembangunan bisa mulai berjalan, meski kami takkan menikmati hasilnya nanti.
Rasanya masih banyak yang belum kami catatkan di sini, biarlah menjadi kenangan yang abadi, juga investasi untuk ditarik di akhirat nanti. Buat adik-adik Rohis, ratusan berita dan cerca mungkin akan kembali muncul di hadapan, mari terus ukir kenangan manis dengan pembinaan dan kegiatan di dalamnya. Jadikan masa-masa di Rohis sebagai ayyaaman la tunsa, hari-hari yang takkan terlupa.
Semoga bermanfaat dan salam optimis.
0 comments:
Posting Komentar